Posted on

Tipe Transaksi Bisnis Electronic Commerce

Belakangan ini wacana pembicaraan dan diskusi mengenai perdagangan melalui electronic commerce semakin kerap dilakukan baik oleh para praktisi bisnis, pakar teknologi informasi, pemerhati perilaku masyarakat, maupun oleh kalangan pemerintahan. Tidak dapat dimungkiri lagi bahwa perkembangan teknologi informasi yang sedemikian cepat telah mempercepat dimulainya era globalisasi informasi dan ekonomi.

Dampaknya untuk negara berkembang paling tidak telah terlihat di beberapa kota-kota besar dalam bentuk mulai menjamurnya warung-warung berbasis teknologi informasi yang dapat dengan bebas dikonsumsi oleh masyarakat dan mulai dilaksanakannya sejumlah proyek electronic commerce di perusahaan-perusahaan dengan latar belakang industri yang beragam.

Pakar teknologi informasi Don Tapscott dalam salah satu bukunya yang berjudul “Blueprint to the Digital Economy – Creating Wealth in the Era of EBusiness” memperkenalkan paling tidak terdapat 4 (empat) tipe transaksi elektronik yang dapat dilakukan melalui dunia maya (cyber world). Tapscott memberikan istilah cyber community kepada masyarakat yang menggabungkan diri ke dalam cyber world untuk melakukan pertukaran data, informasi, produk, maupun jasa-jasa tertentu. Masyarakat ini dapat terdiri dari individu, keluarga, institusi, perusahaan, negara, maupun komunitas yang lebih besar. Dalam kerangka transaksi bisnis komersial, masing-masing entiti komunitas ini dapat berfungsi sebagai penjual produk atau jasa (seller) atau pembeli (buyer).

Keunikan masing-masing komunitas dalam melakukan transaksi komersial tersebut dapat dilihat dari dua perspektif:
 Aspek Kontrol (Control) – menggambarkan apakah dalam komunitas tersebut ada satu atau beberapa entiti yang memimpin dan mengkontrol terjadinya transaksi bisnis atau tidak. Jika ada, maka komunitas tersebut dikatakan memiliki ciri hirarkis (hierarchical), jika tidak maka komunitas tersebut dianggap sebagai independen (self organizing).
 Aspek Ketergantungan Proses (Value Integration) – menggambarkan apakah dalam komunitas yang ada terdapat hubungan ketergantungan entiti yang sangat erat (high) atau tidak (low).

Berdasarkan dua kacamata perspektif tersebut di atas, keempat jenis komunitas business elektronik (electronic business community) dapat terbentuk dengan ciri khas dan karakteristiknya masing-masing. Keempat komunitas tersebut dinamakan sebagai: open market, aggregation, integration, dan alliance (Tapscott, 1998).

Open Market Community

Komunitas ini merupakan versi elektronik dari pasar tradisional (agora) dimana para penjual dan pembeli bertemu secara langsung untuk mengadakan transaksi pertukaran barang atau jasa.
Secara bebas penjual dapat menjajakan produk dan jasanya kepada pembeli, sementara pembeli dapat melakukan transaksi dengan penjual yang dipilihnya secara bebas. Contoh yang paling klasik adalah pada industri stock exchange dimana terjadi penawaran dan pembelian saham secara bebas.

Contoh lain adalah perusahaan semacam eBay.com yang menawarkan jasa pelelangan barang melalui internet. Setiap orang dapat dengan leluasa meletakkan informasi mengenai barang yang ingin dilelang ke dalam situs (website) eBay.com dan bagi yang tertarik dapat segera melakukan penawaran melalui situs yang sama melalui mekanisme pelelangan.

Secara prinsip terlihat bahwa pada komunitas ini, penjual dan pembeli memiliki kedudukan yang sama, dalam arti kata tidak berlaku peraturan yang secara ketat mengikat mekanisme perdagangan yang terjadi.

Aggregation Community

Pada komunitas ini biasanya sebuah perusahaan berfungsi sebagai pemimpin atau mediator dalam proses transaksi elektronik yang terjadi antara produser dan konsumer (penjual dan pembeli). Contohnya adalah perusahaan semacam American Online atau Compuserve yang melakukan manajemen materi (content) terhadap informasi yang memiliki nilai tinggi.

Berbagai jenis perusahaan penghasil produk informasi semacam Harvard Business Review (Penerbit Buku), Mayo Clinic (Informasi Kesehatan), Reuter (Bursa Derivatif), dan lain sebagainya
mengadakan perjanjian kerjasama dengan perusahaan aggregator yang akan menawarkan produk-produk tersebut pada calon pembeli yang menjadi anggota/pelanggan tetap (member) dari perusahaan aggregator tersebut.

Contoh lain adalah situs milik Wal-Mart, perusahaan retail terbesar di Amerika yang menjual beribu-ribu item kebutuhan sehari-hari yang dapat dipesan melalui internet. Sebagai pemimpin dalam komunitas ini, perusahaan aggregator menerapkan peraturan-peraturan yang harus
ditaati baik oleh produser maupun konsumer agar terjadi mekanisme transaksi yang efektif, efisien, dan terkontrol dengan baik.

Value Chain Community

Kata “value chain” di sini berasal dari konsep rantai nilai yang diperkenalkan oleh Michael Porter. Dalam konsep keunggulan kompetitif-nya yang terkenal tersebut (competitive advantage), Porter menjelaskan bahwa aktivitas penciptaan suatu produk atau jasa harus melalui suatu urutan proses tertentu. Dikatakan olehnya bahwa sebuah perusahaan akan memiliki keunggulan kompetitif bila manajemen berhasil memiliki rantai proses yang paling efisien.

Seperti halnya pada komunitas aggregation, pada komunitas ini sebuah perusahaan berfungsi sebagai pemimpin. Bedanya adalah jika pada komunitas aggregation tujuan perusahaan yang menjadi pemimpin adalah untuk menggabungkan berbagai jenis produk atau jasa untuk menjadi
satu produk atau jasa baru (packaging management), obyektif dari perusahaan pemimpin dalam komuntias value chain adalah untuk menjamin terjadinya urutan proses yang efisien.

Contohnya adalah Amazon.com yang menjual beraneka ragam buku yang dapat dibeli oleh para konsumer di
seluruh dunia melalui internet. Secara prinsip, konsumer tidak perlu tahu dan tidak mau tahu bagaimana Amazon.com melakukan pemesanan terhadap buku yang diminta ke penerbit, melakukan produksi dan menyimpannya dalam gudang, mendistribusikannya ke seluruh
penjuru dunia, sampai dengan mengirimkannya ke tangan pelanggan.

Namun di belakang layar, manajemen Amazon.com harus berusaha mencari jalan yang paling efisien dan efektif dalam urutan proses pencetakan buku (lokasi percetakan dan jumlah buku), penyimpanan buku (lokasi gudang penyimpanan), pendistribusian buku (transportasi), sampai dengan pengiriman buku (kurir).

Alliance Community

Dari keempat komunitas yang ada, alliance adalah komunitas yang paling liberal dan virtual karena sifatnya yang ingin melakukan segala jenis integrasi perdagangan yang mungkin diadakan dalam cyberspace tanpa menerapkan berbagai jenis peraturan yang mengikat
(diistilahkan sebagai value space).

Untuk dapat berhasil dalam komunitas ini, sebuah perusahaan harus memiliki kreativitas yang tinggi dalam bentuk penemuan dan implementasi ide-ide baru dalam value space tersebut.

Contohnya adalah Visa International yang dikenal sebagai sebuah perusahaan yang sangat berhasil dalam menciptakan komunitas bisnis elektronis. Secara langsung Visa International telah membawa beribu-ribu perusahaan yang saling berkompetisi untuk menggunakan jasa
mereka. Jika pada awalnya pelanggan harus secara langsung mengajukan permohonan ke Visa International untuk memperoleh kartu kredit (credit card), saat ini dengan leluasa masyarkat dapat memilikinya melalui tabungan di bank-bank retail. Contoh lain adalah Java yang bersamasama dengan Sun, IBM, Oracle, dan Nestcape bekerja sama di cyber untuk mengalahkan dominasi kolaborasi Microsoft dengan Intel (Wintel).

Dalam komunitas ini terlihat bahwa prinsip kompetisi yang dipergunakan adalah “co-opetition”, yaitu filosofi “collaborate to compete” (berkompetisi dengan cara berkolaborasi untuk mendapatkan kekuatan yang lebih besar). Satu hal menarik lainnya adalah diperkenalkannya
istilah “prosumer” sebagai pengganti “producer” dan “consumer”, karena dalam komunitas value chain tidak jarang terlihat seorang pembeli yang pada saat bersamaan berfungsi sebagai penjual.

Contohnya adalah sebuah situs yang menawarkan penyewaan jasa groupware computing. Seseorang yang tertarik membentuk suatu komunitas kecil (groupware) diharuskan membayar situs tersebut secara berkala (abondemen), namun yang bersangkutan pada akhirnya akan
menarik bayaran kepada para anggota yang tergabung dalam komunitas tersebut (membership fee).

Dengan melihat keempat jenis komunitas tersebut di atas, para pengusaha dan praktisi bisnis di tanah air yang ingin segera masuk ke cyber community melalui perencananaan dan pengembangan electronic commerce di perusahaannya dapat mulai memikirkan strategi yang
tepat. Jelas terlihat bahwa masing-masing komunitas memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing (trade off), sehingga ada baiknya analisa cost-benefit dilakukan terlebih dahulu.

Pada akhirnya, dengan berasumsi bahwa pada suatu saat nanti jika seluruh individu di dunia telah tergabung secara elektronis, maka seorang kapitalis murni akan tinggal di sebuah negara yang paling murah, melakukan bisnis melalui internet dengan menjual produk dan jasanya di negara yang paling maju, dan mentransfer hasil usahanya ke bank-bank di negara yang paling aman. Dengan kata lain, dapat saja Indonesia penuh sesak oleh masyarakat yang berbelanja dan berbisnis melalui electronic commerce, tetapi tidak ada alir uang masuk ke tanah air.

Sumber : E-Commerce : “Strategi Bisnis Di Dunia Maya”, Richardus Eko Indrajit, Aptikom

Posted on

Membangun Komunitas Dunia Maya

Perkembangan Komunitas Dunia Maya

Terkadang masyarakat di negara berkembang sering merasa heran melihat bagaimana gencarnya majalah-majalah di dunia pada saat ini membahas dan menceritakan bagaimana internet dan teknologi informasi telah secara signifikan merubah perilaku manusia dan bisnis di beberapa negara sehingga telah membawa peradaban manusia kepada sebuah dunia baru yang diistilahkan sebagai “The Cyber Community”. Masyarakat tidak habis pikir bagaimana hal tersebut dapat terjadi mengingat bahwa tanda-tanda atau trend menuju ke arah sana tidak secara merata terlihat di negara-negara lain. Dan seandainya ada beberapa negara Asia yang telah mengalami fenomena yang sama, kemajuan tersebut hanya terasa paling tidak di ibukota negara dan sejumlah kota-kota besar lainnya. Contohnya di Indonesia. Demam warung internet dan electronic commerce nampaknya hanya terjadi di Jakarta saja.

Hal itupun tidak secara merata dirasakan oleh seluruh komunitas masyarakat. Hanya masyarakat bisnis atau mereka yang relatif memiliki tingkatan pendidikan tertentu saja yang memanfaatkan
komputer dalam menunjang kegiatan hidupnya sehari-hari.
Tengoklah bagaimana hal berbeda terjadi di kota-kota besar lainnya, seperti Ujung Pandang, Medan, Menado, Semarang, Palembang, yang hanya memandang teknologi informasi hanya pada
sebatas penggunaan electronic mail dan internet browser saja. Bahkan di Jakarta sekalipun, tidak jarang ditemui para pelaku bisnis yang pesimis terhadap perkembangan teknologi informasi di
Indonesia yang terasa sulit untuk dapat mengejar kecepatan perkembangannya di negara maju.

Seribu satu alasan dikemukakan, dengan salah satu alasan klasik yaitu masalah kesiapan dan keberadaan jaringan infrastruktur teknologi. Bagaimana mungkun hal tersebut menjadi keluhan
jika melihat bagaimana Telkom dan Indosat – yang didukung oleh perusahaan-perusahaan lain seperti Lintas Arta, Arthatel, EDI Indonesia, Indosatcom, dan lain sebagainya – telah memiliki
peralatan infrastruktur “state-of-the-art” (tercanggih) seperti yang layaknya dimiliki oleh negara-negara maju?

Infrastruktur Teknologi Informasi

Ada sebuah pendapat yang mengatakan, bahwa kunci keberhasilan sebuah negara berkembang untuk dapat menuju kepada suatu negara industri terletak pada pembangunan dan pengembangan jaringan infrastrukturnya, yang dalam hal ini sikategorikan sebagai: jalan raya, telekomunikasi, jaringan listrik, pipa air minum, transportasi, dan lain sebagainya. Alasannya cukup sederhana, yaitu karena setiap kegiatan manusia sehari-hari memerlukan beragam komponen infrastruktur tersebut. Sehingga jika terjadi gangguan pada komponen yang ada, akan turut mempengaruhi pula tingkat produktivitas masyarakat dalam melakukan aktivitas seharihari. Melihat kenyataan tersebut, logikanya, biaya yang harus ditanggung masyarakat untuk memakai dan memanfaatkan infrastruktur ini haruslah cukup rendah, sehingga seluruh lapisan
masyarakat tanpa kecuali dapat memanfaatkannya secara leluasa.

Dengan kata lain, pembangunan infrastruktur secara luas dan merata merupakan sebuah prioritas yang harus dilakukan oleh sebuah negara agar setiap titik komunitas yang tersebar secara geografis dapat dengan mudah bekerja sama dalam berbagai kegiatan, untuk menggerakkan roda perekonomian dan pertahanan negara yang bersangkutan. Sehingga tidak mengherankan, jika sebagian besar pajak atau pinjaman dari luar negeri dipergunakan secara intensif untuk membangun jaringan infrastruktur publik sebagai pendukung pembangunan nasional.

Di Amerika misalnya, jika sebuah komponen infrastruktur pertama kali dibangun, masyarakat harus membeli jasa atau produk pemakaian inftasruktur tersebut dengan suatu tingkatan biaya
tertentu. Sejalan dengan diperolehnya pendapatan dari masyarakat ini, pengelola infrastruktur akan secara perlahan-lahan mengurangi biaya pemakaiannya sejalan dengan tingkat kembalinya biaya investasi yang bersangkutan (return on investment) yang telah ditanamkan untuk biaya pembangunan proyek. Untuk jenis infrastruktur tertentu, seperti telepon dan listrik misalnya,
harga pemakaian akan turun sampai mencapat suatu level yang tetap (flat rate).

Sementara untuk beberapa jenis infrastruktur lainnya, seperti jalan dan air minum, penurunan biaya
dilakukan sedemikian rupa hingga pada suatu tingkatan dimana masyarakat dapat mengkonsumsinya secara gratis. Dalam kerangka ini, tidak heranlah jika seorang mahasiswa atau pengusaha, selama 24 jam menghubungkan komputernya dengan internet, karena tidak ada biaya variabel yang harus dibayarkan terhadap penggunaan pulsa telpon dan listrik. Bahkan bagi mereka yang bekerja pada institusi tertentu (swasta dan pemerintah) atau sedang mengenyam
pendidikan tertentu, sambungan internet diberikan secara gratis sebagai fasilitas penunjang aktivitas sehari-hari. Dengan kata lain, akses ke dunia maya (cyber space) dapat dilakukan dengan mudah, murah, dan cepat.

Digital Community Layers

Keadaan ini membuat Amerika telah semakin siap dalam membangun komunitas dan ekonomi digitalnya yang bertumpu pada transaksi-transaksi bisnis berbasis multimedia yang oleh Don
Tapscott dalam bukunya “Blueprint to the Digital Economy” digambarkan sebagai sebuah kerangka yang memiliki sejumlah komponen (layer) sebagai prasyarat (Tapscott, 1998):

  • Customer Layer menggambarkan bahwa para pengguna infrastruktur terdiri dari berbagai kalangan. Pelanggan tersebut dapat berasal dari kalangan bisnis, konsumen individual, keluarga, komunitas, maupun institusi-institusi lain.
  • Location Layer memperlihatkan bahwa para pelanggan tersebut harus dapat melakukan akses ke cyber space dari lokasi mana saja, seperti tempat kerja, pusat keramaian publik, kendaraan, dan rumah.
  • Appliances Layer merupakan ketersediaan sejumlah peralatan yang dapat menghubungkan setiap individu dengan inftastruktur teknologi informasi (distribution channels), mulai dari yang paling tradisional sampai yang tercanggih, seperti: faks, telepon, televisi, komputer, monitor canggih, personal digital assistant (PDA), kios, dan lain sebagainya.
  • Integration Management Layer yang merupakan inti dari jaringan infrastruktur teknologi informasi memperlihatkan bahwa terlepas dari berbagai jenis merek dan spesifikasi komponen-komponen yang ada, harus diimplementasikan suatu sistem pengelolaan (manajemen) yang dapat mengintegrasikan seluruh komponen-komponen tersebut, baik secara teknis maupun non-teknis. Terlihat pada kerangka tersebut bahwa pada saat ini IP (Internet Protocol) merupakan salah satu hal yang telah disetujui bersama (common denominator) untuk dipergunakan sebagai standar komunikasi internasional.

Melihat target pemanfaatan teknologi informasi dari kerangka tersebut, terlihat bahwa pembangunan infrastruktur secara fisik saja tidak cukup untuk dapat mengefektifkan penggunaan teknologi informasi. Bersama dengannya, terkait pula hal-hal lain yang harus diperhatikan yang dalam konteks ini sering diistilahkan sebagai suprastruktur teknologi informasi.

Tahapan Pengembangan

Secara prinsip ada tiga tahapan utama yang harus dikembangkan oleh suatu negara jika ingin mulai membangun komunitas digital-nya (digital community), yaitu aspek pembangunan koneksitas, komunikasi, dan komunitas.

Pada tahap pertama, sasaran pengembangan terletak pada pembentukan jaringan yang dapat menghubungkan setiap individu dan komunitas yang ada. Terdapat tiga komponen pokok yang harus dikembangkan. Komponen pertama adalah media transmisi, baik melalui darat, laut, dan udara. Media transmisi disini diharapkan selain cepat dan ekonomis, harus pula memiliki bandwidth yang besar agar dapat dipergunakan bagi transaksi berbasis multimedia.

Pembangunan jaringan media transmisi harus dilakukan sedemikian rupa sehingga merata secara geografis (kualitas dan), dimana seluruh titik-titik komunitas di negara yang bersangkutan sedapat mungkin dapat terhubung.

Komponen kedua yang harus dikembangkan adalah manajemen pengelolaan jaringan media transmisi tersebut, yang memiliki tugas utama untuk mengatur, mencatat, memonitor, menganalisa, mengevaluasi, dan mengelola pemakaian media transmisi terkait oleh publik. Manajemen ini biasanya dibantu oleh peralatan dan fasilitas teknologi informasi tertentu untuk menjamin terciptanya proses pelayanan publik yang efisien, efektif, dan terkontrol dengan baik.

Jika kedua komponen pertama dibangun oleh perusahaan penyedia jasa infrastruktur (supply side), maka komponen ketiga merupakan aplikasi dan peralatan yang harus dimiliki oleh pelanggan (demand side) yang berniat untuk memanfaatkan fasilitas koneksitas tersebut. Komponen ini menyangkut perangkat lunak (software) dan perangkat keras (hardware) yang harus dimiliki dan diinstalasi di masing-masing komputer pelanggan atau peralatan elektronika lainnya (distribution channels).

Pada tahap kedua, pengembangan difokuskan pada pembangunan mekanisme pertukaran data dan informasi yang dipergunakan sebagai basis dalam melakukan transaksi komersial.
Pengembangan teknologi informasi seperti electronic commerce, distribution database system, electronic digital interchange (EDI), groupware computing, datawarehousing, dan lain sebagainya harus didukung dengan teknologi tambahan lainnya yang dapat menjawab persoalan-persoalan klasik bisnis yang dihadapi, seperti masalah security, digital signature, maintenance, outsourcing, web-hosting, dan lain-lain.

Menyangkut masalah pembangunan mekanisme yang dapat mendorong subyek-subyek cyber space untuk mulai melakukan transaksi komersial adalah ketersediaan sumber daya yang memiliki kompetensi dan keahlian tertentu.

Oleh karena itu keterlibatan konsultan manajemen, pakar hukum, perguruan tinggi, pusat-pusat riset dan pengembangan, lembaga-lembaga pemerintahan, institusi-institusi pelatihan, serta
vendor-vendor teknologi sangat dibutuhkan untuk bersama-sama meningkatkan kemampuan dan kepercayaan masyarakat dalam melakukan transaksi secara elektronis.

Setelah jalur koneksitas dan komunikasi antar subyek-subyek dan obyek-obyek pada cyber community telah dibangun, tibalah pada pelaksanaan tahap terakhir dalam pembangunan, yaitu
pengembangan komunitas itu sendiri. Tantangan membangun digital community dapat dikatakan sebagai suatu usaha yang “mudah tetapi sulit”. Mudah karena pada dasarnya yang
dibutuhkan adalah hanya membangun content atau materi yang memungkinkan adanya interaksi positif antara komunitas yang terhubung melalui cyber space.

Namun di lain pihak usaha tersebut dirasa cukup sulit, karena masyarakat baru akan mencoba menoleh untuk masuk ke cyber community bila yang bersangkutan merasa benar-benar membutuhkannya (walaupun ada sebagian kecil di antara mereka yang bergabung dengan cyber community karena memiliki niat untuk bereksperimen atau uji coba).

Dengan kata lain, cyber community baru akan tercipta dan berkembang jika produk-produk atau jasa-jasa yang ditawarkan di cyber space benar-benar secara signifikan akan memberikan keuntungan-keuntungan baik secara material maupun nonmaterial yang tidak dapat dilakukan dan diperolah melalui sistem transaksi tradisional.

Dari paparan ringkas di atas terlihat jelas bahwa infrastruktur fisik hanya merupakan salah satu komponen kecil pembentuk suatu digital community. Dengan kata lain, memiliki infrastruktur
telekomunikasi yang canggih (state-of-the-art) tidak menjamin telah siapnya suatu negara untuk dapat segera bergabung dalam sebuah digital community.

Bagaimana masyarakat dapat “tergilagila” dengan internet dan teknologi informasi jika masih terjadi fenomena seperti pulsa telepon naik terus, harga listrik tidak pernah turun, jasa internet provider masih cukup mahal, pembangunan tidak merata di seluruh tanah air, KKN merajalela di semua aspek kehidupan, pendidikan tinggi masih berbasis gelar, korupsi yang masih membudaya, utang luar negeri yang semakin membengkak, dana pinjaman yang salah alokasi dan monopoli yang masih merajalela?

Setidak-tidaknya seluruh lapisan masyarakat dapat mulai merenung, bahwa terlepas dari “kehebatan-kehebatan” pembangunan ekonomi dan politik yang telah terjadi di tanah air, terdapat laporan hasil penelitian yang menempatkan Indonesia di urutan 105 dari kurang lebih 177 negara di dunia dilihat dari segi kesiapan infrastruktur dan suprastruktur teknologi informasinya. Suatu “prestasi” yang masih jauh dari harapan, yang tidak begitu berbeda dari ranking persepakbolaan nasional di kiprah dunia.

Sumber : E-Commerce : “Strategi Bisnis Di Dunia Maya”, Richardus Eko Indrajit, Aptikom


Posted on

Peluang dan Tantangan E-commerce di Indonesia

Menurut data Badan Pusat Statistik Indonesia, proyeksi jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2015 berjumlah sekitar 255 juta penduduk dan akan mencapai sekitar 305 juta penduduk pada tahun 2035. Hal ini memberikan dampak positif bagi bangsa Indonesia karena ini akan membuat investor tertarik untuk berinvestasi dan membuka industri di Indonesia karena dengan jumlah penduduk yang cukup besar akan menciptakan permintaan barang dan jasa yang cukup tinggi pula di banding dengan negara lain.

Namun di karenakan kondisi negara Indonesia yang notabene adalah negara kelautan dimana terdiri dari 5 pulau besar dan pulau-pulau kecil lainnya serta pertumbuhan antar pulau yang belum merata dimana masih banyak terpusat di pulau Jawa maka hal ini membuat penduduk yang ada di pulau lain harus merogoh kocek cukup dalam untuk dapat berbelanja di pulau Jawa di karenakan tidak semua barang terdapat di daerah tinggalnya.

Hal ini perlahan mulai dapat di atasi berkat kemajuan teknologi, terutama teknologi internet dan mulai banyak orang melakukan jual beli melalui dunia internet yang sering kita sebut sebagai e-commerce. Dengan adanya e-commerce maka penduduk di pulau lain tidak perlu susah payah dan merogoh kocek cukup dalam lagi untuk berbelanja barang yang di inginkannya.

Saat ini semakin banyak situs jual beli online yang bermunculan di Indonesia, baik dari lokal, seperti tokopedia.com maupun dari luar negeri yang membuka cabang di Indonesia, seperti Lazada.co.id. Bahkan perusahaan yang sebelumnya tidak masuk dalam sektor industri ini sekarang mulai masuk dalam sektor industri ini, seperti XL yang bekerja sama dengan SK Planet Co. Ltd. dari Korea yang menghasilkan situs elevenia.co.id, dan Lippo Group yang baru saja meluncurkan mataharimall.com.

Pesatnya pertumbuhan situs jual beli online di Indonesia tentu tidak terlepas dari jumlah penduduk Indonesia yang cukup banyak dan negara kelautan yang memberikan peluang cukup besar bagi jual beli secara online karena pembeli tidak perlu merogoh kocek cuup dalam lagi dan membuang waktunya untuk membeli sesuatu ke daerah lain namun hanya perlu membuka internet dan barang yang di beli pun akan segera di kirimkan oleh situs jual beli online tersebut.

Bahkan menurut catatan Lippo Group saat peluncuran mataharimall.com, total penjualan online baru sekitar 0,7% dari total penjualan ritel di Indonesia serta penetrasi internet akan mencapai 30% lebih pada tahun ini. Hal ini tentu menunjukan bahwa peluang dalam sektor industri jual beli online ini masih terbuka cukup besar.

Dengan peluang tersebut bukan berarti sektor industri jual beli online ini dapat melaju bebas. Sektor industri jual beli online ini memiliki tantangan tersendiri, seperti keamanan data pembeli dari hal yang tidak di inginkan dari bertransaksi dalam situs jual beli online, kesamaan barang yang terdapat dalam situs dengan barang yang di kirimkan ke pembeli, dan lain sebagainya.

Akhir kata, situs jual beli online yang berkembang saat ini tentu memberikan kemudahan bagi kita untuk membeli sesuatu yang kita inginkan namun tetap berhati-hati dan cermat dalam memilih situs jual beli online serta dalam melakukan transaksi sangat di perlukan.

Sumber : Welly Senjaya

Posted on

Peluang dan Tantangan Indonesia dalam Kerja Sama Perdagangan Internasional

Berbagai forum kerja sama, baik bilateral, regional maupun multilateral dari waktu ke waktu telah menunjukan arah perdagangan yang semakin liberal dalam pengertian mengurangi berbagai pembatasan akses pasar dan pembatasan national treatment. Walaupun demikian, dewasa ini berbagai pembatasan perdagangan yang bersifat trade distortive dalam bentuk subsidi, hambatan tarif dan non tarif serta proteksi regulasi masih banyak terjadi di berbagai negara, termasuk negara-negara maju sekalipun. Upaya-upaya untuk mencapai tingkat liberalisasi yang lebih tinggi bukannya tanpa persoalan, baik dalam tataran nasional maupun dalam tataran internasional. Sensitivitas kebijakan perdagangan dan politik telah semakin mempersulit proses liberalisasi pasar.
Bagi Indonesia sendiri keikutsertaan Indonesia dalam berbagai forum kerja sama perdagangan internasional diyakini dapat memberikan manfaat yang lebih baik bagi pertumbuhan perekonomian Indonesia. Walaupun demikian tantangan yang ditimbulkan sebagai konsekuensi keikutsertaan Indonesia tersebut ternyata tidaklah sedikit, baik tantangan ekonomi maupun tantangan politis dan sosial. Tantangan ekonomi yang dihadapi Indonesia sangatlah besar yang meliputi kurangnya kapasitas nasional, lemahnya infrastruktur fisik, kurang kondusifnya kondisi social-politik-hukum, rendahnya investasi asing, biaya ekonomi tinggi, tenaga kerja yang kurang kompetitif yang kesemuanya menjadikan produk-produk Indonesia kurang kompetitif di pasar internasional. Upaya-upaya yang sistematis dan konsepsional untuk meningkatkan daya saing ekonomi nasional perlu dilakukan agar Indonesia dapat memanfaatkan liberalisasi perdagangan dunia dengan baik. Dalam hal ini, penulis akan memberikan uraian dan analisa mengenai kebijakan perdagangan Indonesia, peluang dan tantangan perdagangan barang dan jasa baik secara multilateral, regional, dan bilateral serta meningkatkan daya saing dan langkah ke depannya.

A. Kebijakan Perdagangan Indonesia

Kebijakan perdagangan suatu negara sangat berpengaruh pada besarnya magnitude dan pola perdagangan negara tersebut. Untuk itu dalam menetapkan kebijakan perdagangan perlu dikaitkan dengan pola pembangunan secara komprehensif, sehingga dapat secara optimal mendorong pertumbuhan ekonomi. Selain itu, kebijakan perdagangan seharusnya saling terkait dengan pola industrialisasi yang dipilih serta kebijakan yang mendorong investasi.
Secara garis besar, kebijakan yang telah dilakukan pemerintah Indonesia adalah sebagai berikut :
 Tahun 1983-1986 (Resesi Ekonomi). Melakukan kebijakan reformasi di bidang perdagangan dan investasi yang dimulai dengan stabilisasi ekonomi makro yakni pengetatan fiskal dan devaluasi rupiah. Devaluasi rupiah dilakukan untuk menggenjot ekspor (non migas) dan memperbaiki neraca pembayaran. Kebijakan pengetatan fiskal dilakukan dengan mengurangi subsidi minyak, sektor pertanian dan BUMN.
 Tahun 1990-an menyikapi perkembangan ekonomi internasional, pemerintah melakukan strategi globalisasi dengan melakukan deregulasi kebijakan untuk mengundang investasi ke Indonesia. Kemudian dilanjutkan dengan pengurangan tarif (bea masuk) untuk komoditas tertentu.
 Untuk membangun kembali perekonomian yang terpuruk akibat krisis, pemerintah meminta bantuan IMF yang meliputi perbaikan di sektor fiskal dan moneter, juga termasuk liberalisasi sektor perdagangan baik menghapus semua restriksi non tarif maupun batasan ekspor.
 Sementara itu, integrasi kawasan Asia Timur, dan mandeknya negosiasi WTO membuat negara-negara termasuk Indonesia melakukan terobosan baru dalam pengaturan perdagangannya yakni dengan membuat blok-blok perdagangan regional (regional trade agreement) dan bilateral (bilateral trade agreement).
Perkembangan Kebijakan Perdagangan Indonesia
Periode Kebijakan
1948-1996 Ekonomi nasionalis: Nasionalisasi perusahaan Belanda
1967-1973 Sedikit liberalisasi perdagangan
1974-1981 Substitusi impor, booming komoditas primer dan minyak
1986-sekarang Liberalisasi perdagangan dan orientasi ekspor

B. Perdagangan Indonesia, Peluang dan Tantangan dalam Perdagangan Multilateral

Di bidang perdagangan barang, Indonesia memiliki peluang ekspor yang lebih baik mengingat kekayaan sumber daya alam dan berlimpahnya tenaga kerja yang dimiliki. Lebih jauh lagi peningkatan ekspor ini telah didukung pula dengan fasilitas perbankan yang semakin terbuka dan relatif stabil. Ekspor Indonesia kebanyakan ditujukan ke Negara-negara mitra dagang utama seperti : Asia Timur (34,1%) terutama Singapura,Thailand, dan Malaysia; Jepang (14,7%); Uni Eropa (13,5%) dan AS (13,9%). Jenis barang yang di ekspor tersebut yaitu Crude Palm Oil (CPO), Batu Bara, Kayu, Pulp dan Paper, Tekstil dan Produk Tekstil (TPT). Namun, dari kesemuanya ekspor barang tersebut Indonesia memiliki tantangan yang harus benar-benar diperhatikan. Contohnya, di pasar dunia, Indonesia harus menghadapi pesaing utamanya yaitu Malaysia dalam ekspor CPO dimana kedudukan antara kedua Negara ini disini merupakan produsen utama CPO dunia dengan penguasaan pasar lebih dari 80%.
Di bidang perdagangan jasa, sejak diberlakukan nya liberalisasi sektor jasa dalam GATS, terlebih lagi dengan permintaan Negara-negara maju dalam perundingan WTO agar Negara berkembang lebih membuka pasarnya, merupakan hal yang berat bagi Indonesia. Hal ini dikarenakan kelangkaan faktor pendukung sektor jasa. Akibat dari permasalahan ini menyebabkan sektor jasa tidak dapat bersaing dibandingkan dengan Negara-negara lain yang lebih kompetitif. Maka tidak heran, apabila lebih banyak jasa-jasa asing yang masuk ke Indonesia. Banyak perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia, sementara sebaliknya hampir tidak ada industri jasa-jasa Indonesia yang beroperasi di luar negeri. Sebut saja jasa transportasi, misalnya transportasi angkatan udara, flight carrier nasional belum mampu bersaing dengan flight carrier Negara tetangga seperti Singapura meski sudah berdiri puluhan tahun.

C. Perdagangan Indonesia, Peluang dan Tantangan dalam Perdagangan Regional

Proses integrasi sektor-sektor AFTA dimulai tahun 2005 dan penghapusan tariff akan diterapkan pada tahun 2010 pada 6 negara anggota lama untuk semua sektor yang disepakati. Sebagaimana kesepakatan agustus 2006, penerapan penghapusan tarif dipercepat menjadi tahun 2007 karena pembentukan pasar tunggal ASEAN dipercepat dari tahun 2020 menjadi tahun 2015. Hingga tahun 2005, telah disepakati 11 sektor strategis (termasuk logistic tahun 2006) yang bebas diperdagangkan di ASEAN, 7 diantaranya merupakan produk industri barang seperti elektronik, tekstil, dan produk tekstil (TPT), agro processing, karet, otomotif, hasil kelautan dan produk kayu. Sisanya merupakan industry jasa penerbangan, pariwisata, teknologi informasi, dan jasa kesehatan. Empat industry barang yang disebut pertama mendominasi perdagangan intra ASEAN. Kebijakan domestic negara anggota ASEAN telah membentuk pola (pattern) perdagangan intra-ASEAN dan model integrasi yang diadopsi dari masing-masing sector. Sebagai contoh, untuk produk karet pola perdagangan intra ASEAN menunjukkan bahwa negara seperti Indonesia, Myanmar, Philipina, Thailand, dan Vietnam mengekspor karet mentah ke Malaysia dan Singapura untuk kemudian diekspor kembali ke negara-negara tersebut dalam bentuk karet olahan.
Sejak kenaikan BBM oktober 2005 ekspor kayu (tripleks) Indonesia pada kawasan regional harus bersaing ketat dengan Malaysia yang berani menetapkan harga jauh dibawah harga pasar. Selain itu kayu yang diekspor Malaysia juga sudah mengalami pengolahan lebih jauh sehingga memiliki nilai tambah lebih tinggi. Permasalahan kayu di Indonesia terutama adalah praktek illegal logging yang menyebabkan bahan baku kayu menjadi semakin sulit serta teknologi permesinan yang sudah using sehingga mengurangi produktivitas. Untuk meningkatkan ekspor kayu, pemerintah harus secara konsisten memerangi praktek illegal logging serta mengganti mesin-mesin tua yang pada gilirannya dilakukan untuk mengundang investor asing. Indonesia juga pengekspor karet bersama Malaysia dan Thailand, namun untuk pasar ASEAN, Thailand memberikan kontribusi lebih besar yakni sekitar 43%, sementara Indonesia dan Malaysia menguasai sekitar 48 %. Sayangnya, produk ekspor karet ini masih dalam bentuk karet mentah sehingga efek nilai tambahnya sangat kecil. Peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan produk karet menjadi industry yang diandalkan masih terbuka, mengingat RCA (Revealed Comparative Advantage) untuk produk karet olahan lebih besar dari 1 yaitu 1,07. Sektor jasa yang disepakati dalam kerangka AFAS meliputi sektor-sektor : transportasi udara, jasa usaha, konstruksi, jasa keuangan, jasa pelayaran, telekomunikasi dan parawisata. Bagi Indonesia, AFAS memberikan peluang kesempatan untuk mendapatkan manfaat dari pasar bersama yang besar dan kenaikan aliran factor produksi untuk mendorong pertumbuhan lebih jauh lagi, dan peluang yang akan diperoleh adalah akses yang lebih baik kepada tekhnologi,jasa pasokan,serta kompetisi domestik lebih tinggi.

D. Perdagangan Indonesia, Peluang dan Tantangan dalam Perdagangan Bilateral

Dalam melakukan bilateral FTA, Indonesia perlu memilih Negara mitra secara selektif dan belum perlu membuat FTA bilateral dengan banyak Negara. Adapun mitra dagang utama Indonesia saat ini adalah Amerika Serikat, Singapura, Thailand, Hongkong, Jepang, Malysia, Auatralia, China, Korea Selatan, Belanda, Jerman, Inggris, dan Taiwan. Mitra dagang terbesar Indonesia untuk kawasan ASEAN adalah Singapura yang merupakan 11% dari seluruh total perdagangan Indonesia. Di luar ASEAN, mitra dagang terbesar Indonesia adalah Jepang (15% dari total) dan Amerika Serikat (14% dari total). Berdasarkan data tersebut FTA bilateral yang dapat dipertimbangkan Indonesia untuk dijajagi adalah Jepang atau Amerika Serikat. Perjanjian bilateral dengan Jepang saat ini tengah berlangsung dalam bentuk IJ-EPA (Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement). Sementara penjajagan bilateral dengan Amerika Serikat dilakukan dengan pertimbangan ekonomi Amerika Serikat sangat besar sehingga diasumsikan bahwa Amerika Serikat merupakan motor penggerak dari sebagian besar negoisasi perdagangan internasional dan tentu saja terkait dengan kebijakan perdagangannya. Apabila dipersiapkan dengan baik kemungkinan Indonesia dapat memperoleh banyak manfaat dengan terbentuknya FTA. Amerika Serikat sebagai kekuatan ekonomi terbesar di dunia telah menjalin kerja sama BTA dengan Singapura, dan selanjutnya dengan Thailand dan Malaysia. Keadaan ini berpotensi menjadi cost of exclusion bagi Indonesia bilamana Indonesia tidak segera melakukan FTA dengan Amerika Serikat.
Hubungan ekonomi bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat sangat strategis karena negara tersebut merupakan salah satu mitra mitra ekonomi Indonesia yang penting. Nilai investasi Amerika Serikat di Indonesia pada saat ini mencapai USD 10,4 miliar (80% berada di sektor migas). Sedangkan nilai ekspor Indonesia ke Amerika Serikat pada 2005 mengalami peningkatan sebesar 11,16% yakni dari USD 10,81 miliar pada 2004 menjadi USD 12,01 miliar pada tahun 2005 (sesuai data US Departement of Commerce). Kemungkinan Indonesia mengambil peluang dagang dengan Amerika Serikat masih terbuka karena permintaan pasar dunia untuk produk-produk Indonesia terutama produk pertanian dan mineral sangat dibutuhkan oleh Negara-negara lain. Jenis komoditi barang yang di ekspor Indonesia selain minyak dan gas adalah produk pertanian, mineral, dan produk industri. Selain BFTA yang tengah dijalankan dengan Jepang dan Amerika, FTA yang sudah dijalankan saat ini yakni antara ASEAN dan China (AFTA) dimana proses awal penurunan tariff sudah dimulai sejak tahun 2004. Ekspor Indonesia ke China dan beberapa Negara ASEAN lain pada dasarnya saling melengkapi atau komplementer dalam arti bahwa produk ekspor Indonesia merupakan input bagi produksi China dan Negara-negara ASEAN. Indonesia menjadi komplementer dengan China untuk produk-produk seperti ; organic chemicals, fixed vegetable oils & fats, pulps & waste paper, crude rubber, wood & cork manufactured. Walaupun produk-produk tersebut merupakan komplementer bagi China, hal ini tidak berarti bahwa Indonesia tidak menghadapi tantangan. Tantangan berasal dari Negara-negara lain yang mengekspor produk yang sama ke China, terutama Thailand, Vietnam dan Filipina. Adapun pangsa ekspor rata-rata masing-masing Negara ke China adalah sebagai berikut: Indonesia 0,85%, Malaysia 1,53%, Thailand 1,3%, dan Filipina 0,44% dari rata-rata tahunan impor China dalam periode 2001-2005. Selain itu, Di Indonesia sendiri, China merupakan pesaing terhadap produk-produk domestic yang telah membanjiri hampir di seluruh pelosok negeri dan terkadang sulit dikendalikan karena produknya murah dan tahan lama. Dalam investasi, China juga merupakan pesaing Indonesia dalam menarik PMA. Dalam hal ini, iklim investasi di China memiliki lebih banyak keunggulan daripada Indonesia ditinjau dari berbagai aspek, seperti: kepastian hukum, infrastruktur, perpajakan, produktivitas buruh, dan sebagainya. Sebagai akibatnya ialah PMA di Indonesia hampir tidak mengalami pertumbuhan. Dampak terhadap perdagangan ini banyak bergantung pada pola hubungan Indonesia—China, apakah bersifat competitor, komplementer, atau keduanya bisa competitor untuk suatu produk atau industry dan komplementer untuk yang lainnya. Penelitian beberapa ahli menunjukkan bahwa Indonesia dan China berkompetisi untuk sekitar 85% dari nilai ekspor di pasar Amerika Serikat dibandingkan negara ASEAN lainnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa pangsa pasar ekspor barang Indonesia di pasar utama semakin terancam oleh barang-barang China.

E. Langkah Ke Depan

Secara internal beberapa langkah yang dapat dilakukan adalah :
i. Perbaikan iklim investasi, melalui:
a) Mengurangi praktek ekonomi biaya tinggi, seperti pemangkasan jalur birokrasi dan pengurangan pungutan liar
b) Penerapan tata kelola pemerintah dan korporasi (good governance), seperti perbaikan tata kerja dan transparansi kebijakan.
c) Menjaga kelangsungan keberadaan produk unggulan saat ini dalam hal kualitas dan tingkat daya saing.
d) Reformasi kebijakan pajak (juga mempertimbangkan target pertumbuhan ekonomi)
e) Perbaikan infrastruktur, seperti jalan raya, pelabuhan dan energy
f) Meningkatkan koordinasi kebijakan antar departemen yang terkait.
ii. Peningkatan daya saing produk barang dan jasa, melalui:
a) Pemetaan permasalahan yang dihadapi oleh sektor dan produk unggulan
b) Pemetaan produk potensial untuk dikembangkan
c) Pemetaan posisi Indonesia dalam konfigurasi kerja sama perdagangan internasional.
d) Peningkatan kualitas faktor-faktor pendukung daya saing Indonesia sesuai dengan arah pengembangan kebijakan perdagangan internasional.
e) Capacity building sumber daya manusia baik pelaku usaha maupun pembuat kebijakan
f) Penerapan Indonesia Incorporated yakni sinergi dari semua pihak untuk mencapai satu tujuan atau visi dalam kurun waktu yang ditetapkan.
iii. Pembenahan di Bidang Hukum, dicapai melalui:
a) Perbaikan infrastruktur hokum yang mendukung perdagangan internasional.
b) Capacity building penegak hukum mengenai perdagangan internasional.
c) Penegakan good governance dan kredibilitas para penegak hukum.
iv. Secara eksternal, yaitu : memperluas strategi pasar, melalui
a) Penyusunan strategi akses pasar yang berbeda untuk Negara maju dan berkembang.
b) Penyusunan strategi pengembangan perdagangan internasional dalam tataran multilateral dan regional (termasuk bilateral).
v. Pengoptimalan negoisasi perundingan kerja sama perdagangan internasional, melalui perbaikan koodinasi antar institusi dan kemitraan Indonesia dengan pelaku bisnis dan pihak terkait lainnya serta peningkatan kualitas negoisasi dan kualitas negosiator.

Sumber

Posted on

TEORI KEUNGGULAN KOMPARATIF DAVID RICARDO

Keunggulan komparatif yang dikemukakan oleh David Ricardo dalam bukunya Principles of Political Economy and Taxation (1817). walaupun sebuah negara kurang efisien dibanding (atau memiliki kerugian absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi kedua jenis komoditi yang dihasilkan, namun masih tetap terdapat dasar untuk melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak.

Teori keunggulan absolut tidak dapat digunakan sebagai dasar dalam perdagangan internasional apabila salah satu negara memiliki keunggulan absolut atas kedua jenis komoditi. Atau dengan kata lain bahwa bila salah satu negara memiliki keunggulan absolut atas kedua jenis komoditi, maka perdagangan tidak akan terjadi. Namun dengan teori keunggulan komparatif, perdagangan internasional antara dua negara masih dapat berlangsung walaupun salah satu negara memiliki keunggulan absolut atas kedua jenis komoditi.

Hal tersebut dapat dijelaskan pada contoh di bawah ini.

NegaraPermadaniSutraDasar Tukar Domestik (DTD)

Iran

30 menit/meter

24 menit/meter
1 meter sutra  = 0,8 meter                        permadani

Bangladesh

40 menit/meter

50 menit/meter
1 meter sutra  = 1,25 meter                        permadani

Pada tabel tersebut dilihat jumlah waktu yang digunakan tanpa memperhatikan perbandingan dasar tukar domestik antara permadani dan sutra di kedua negara, tampaknya India memiliki keunggulan absolut atas permadani dan sutra, mengingat Iran dapat menghasilkan permadani dalam waktu 30 menit/meter, sedangkan Bangladesh menggunakan waktu yang lebih banyak 40 menit/meter, begitu pula sutra, Iran hanya menggunakan waktu 24 menit/meter, sedangkan Bangladesh menggunakan 50 menit/meter. Dengan demikian berdasarkan teori keunggulan absolut, perdagangan antara kedua negara tidak akan terjadi, karena Iran memiliki keunggulan absolut atas kedua jenis komoditi. Berdasarkan pada teori keunggulan komparatif, perdagangan antara Iran dan Bangladesh masih tetap akan terjadi, karena secara komparatif dimana Iran memiliki keunggulan atas sutra dan Bangladesh memiliki keunggulan atas permadani. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan dasar tukar domestik masing-masing negara, yaitu DTD di Iran adalah 1 meter sutra dapat ditukar dengan 0,8 meter permadani, sementara di Bangladesh 1 meter sutra dapat ditukar dengan 1,25 meter permadani. Atau dengan kata lain bahwa di Iran harga sutra lebih murah di banding harga permadani (karena ongkos produksinya hanya 24/50 atau 48 % dari ongkos produksi sutra di Bangladesh,

Posted on

Electronic Business Value Matrix

Mengembangkan E-Business merupakan suatu seni tersendiri bagi sebuah perusahaan. Tidak hanya karena sifatnya yang unik, setiap perusahaan harus memiliki strategi yang berbeda dengan perusahaan lainnya, walaupun mungkin keduanya berada pada industri yang sama. Salah hal utama yang harus dipahami oleh pemilik dan pengelola perusahaan berbasis E-Business, adalah mengetahui posisi keberadaan E-Business dalam kerangka strategis perusahaan. Amir Hartman memberikan sebuah kerangka dalam bentuk matriks yang layak untuk dipergunakan oleh perusahaan sebagai paduan dalam memahami hal tersebut. Kerangka yang bersangkutan diberi nama “E-Business Value Matrix” (Hartman, 2000).


Matriks yang terdiri dari 4 (empat) kuadran ini memiliki dua dimensi sebagai variabel. Dimensi pertama adalah aspek yang berhubungan dengan seberapa kritikal keberadaan E-Business bagi perusahaan yang bersangkutan, sementara dimensi kedua mencerminkan tingkat inovasi dari aplikasi yang dipergunakan.

Kuadran 1: New Fundamentals
Perusahaan pada kuadran ini adalah mereka yang mengimplementasikan aplikasi E-Business dengan tujuan utama untuk menghemat biaya pengeluaran (cost saving). Alasan ini merupakan contoh klasik dari penggunaan teknologi informasi dan internet bagi perusahaan. Dilihat dari segi kebutuhan, keberadaan jenis aplikasi ini tidaklah kritikal bagi perusahaan karena sifatnya sebagai tambahan (optional). Jenis aplikasi yang dipergunakanpun cukup umum dipergunakan oleh perusahaan lain, termasuk oleh para kompetitor bisnis.

Contohnya adalah dibangunnya situs perusahaan (website/homepage) untuk menekan biaya pembuatan brosur dan company profile, atau fasilitas electronic mail untuk mengurangi biaya telepon interlokal atau internasional. Biasanya perusahaan melakukan pengembangan teknologi informasi jenis ini karena masih ingin melakukan coba-coba dengan aplikasi E-Business mengingat rendahnya
resiko dan spesifikasi sumber daya yang dibutuhkan untuk mengimplementasikannya.

Kuadran 2: Rational Experimentation
Pada kuadran kedua ini, peranan aplikasi E-Business belumlah merupakan hal yang kritikal bagi perusahaan, namun perusahaan berusaha untuk melakukan inovasi tertentu yang tidak dimiliki oleh pesaingnya. Tujuan utamanya adalah untuk mencoba mencari penghasilan tambahan baru
(extra revenue) bagi perusahaan.

Hal yang dapat dilakukan sebagai contoh adalah untuk mencoba mencari segmen pasar baru (new market segment) dengan adanya aplikasi E-Business. Contohnya adalah toko buku yang memungkinkan seseorang untuk membeli isinya saja (content and text) tanpa harus membeli bentuk fisiknya. Isi buku yang dibuat dalam format Microsoft Word ini dapat dengan mudah di download melalui situs perusahaan dan dicetak sendiri oleh pembelinya.

Tentu saja harga yang ditawarkan menjadi lebih murah karena tidak adanya biaya produksi dan distribusi. Tidak jarang perusahaan yang sukses melakukan eksperimen ini harus membangun suatu model bisnis baru yang memungkinkan para pelanggan barunya untuk secara fleksibel membeli barang atau jasa yang ditawarkan. Tingkat resiko harus ditanggung oleh perusahaan yang mencoba mengimplementasikan jenis aplikasi terkait berkisar antara kecil dan menengah (low to moderate).


Kuadran 3: Operational Experience
Perusahaan pada kuadran ini harus memiliki suatu aplikasi E-Business tertentu mengingat tingginya ketergantungan perusahaan terhadap keberadaannya. Tanpa mengimplementasikan jenis aplikasi tertentu, maka perusahaan akan kalah bersaing dengan kompetitornya. Contohnya
adalah penerapan aplikasi E-Business B-to-B dimana perusahaan membangun jaringan komputer yang menghubungkan sistem internalnya dengan sistem komputer rekanan bisnisnya (supplier) melalui internet.

Dalam teori supply chain management, tujuan utama dari penerapan
teknologi informasi ini adalah selain untuk meningkatkan efisiensi kinerja perusahaan secara signifikan, juga untuk mempertinggi tingkat utilisasi sumber daya internal dan eksternal (resources leveraging).

Prinsip di belakang implementasi aplikasi ini adalah untuk menciptakan
suatu proses bisnis yang cheaper, better, faster pada internal perusahaan, sehingga yang bersangkutan dapat menawarkan produk dan jasanya kepada pelanggan dengan lebih murah, lebih baik, dan lebih cepat. Karena implementasi jenis E-Business ini berkaitan erat dengan manajemen proses perusahaan, maka tidak heran jika harus dilakukan suatu perubahanperubahan pada level operational (reengineering) sebagai salah satu kunci keberhasilan. Tentu saja perubahan ini bagi perusahaan memiliki arti tingginya resiko yang harus dihadapi selama proses perubahan berlangsung.


Kuadran 4: Breakthrough Strategies
Kuadran terakhir ini merupakan suatu keadaan dimana perusahaan benar-benar menggantungkan dirinya pada kehandalan sistem E-Business yang dikembangkan. Alasan pertama adalah tingginya ketergantungan perusahaan terhadap aplikasi terkait. Sementara
alasan kedua adalah karena perusahaan berusahan untuk membangun suatu sistem yang membedakannya dengan perusahaan-perusahaan lain dalam industri sejenis.

Contohnya adalah virtual bank yang memungkinkan nasabahnya untuk melakukan transaksi perbankan dari berbagai kanal distribusi seperti personal computer, web-TV, Personal Digital Assistant, handphone, dan lain sebagainya. Transaksi yang dapat dilakukan nasabah tidak hanya seputar transfer uang saja, namun lebih jauh lagi dapat untuk melakukan hal-hal lain seperti membayar rekening listrik dan telepon, memesan kebutuhan sehari-hari, bermain saham, dan lain sebagainya. Hal tersebut dimungkinkan untuk dilakukan karena bank tersebut telah menjalin hubungan secara on-line dan real time dengan berbagai rekanan bisnisnya.

Tentu saja kemudahan-kemudahan tersebut merupakan kekuatan dan keunggulan perusahaan dibandingkan dengan bank-bank lainnya. Dengan dibangunnya aplikasi-aplikasi E-Business yang kompleks dan canggih, perusahaan secara signifikan dapat meciptakan suatu segmen pasar baru
dimana konsumen dapat melakukan pembelian terhadap produk atau jasa perusahaan dari mana saja, kapan saja, dan dimana saja. Melihat tingkat kesulitan dan tingginya ketergantungan perusahaan pada infrastruktur teknologi informasinya (karena hampir seluruh revenue berasal darinya), maka resiko yang dihadapi pun tidaklah kecil.

Pada akhirnya, perusahaan harus benar-benar jeli dalam mempermainkan portofolio aplikasiaplikasi E-Business dalam perusahaannya. Memahami proses pemetaan masing-masing jenis
aplikasi internal pada E-Business Value Matrix berarti pula mencoba untuk mengerti prinsipprinsip bisnis yang harus dipergunakan sebagai pegangan.

Kuadran 1 dan Kuadran 3 pada prinsipnya bertujuan untuk melakukan efisiensi, sehingga justifikasi pembelian aplikasi dengan
manfaat yang diperoleh harus dipertimbangkan secara sungguh-sungguh (cost and benefit), sementara Kuadran 2 dan Kuadran 4 merupakan usaha untuk meningkatkan sumber pendapatan perusahaan, sehingga harus dipelajari sungguh-sungguh efektivitas model bisnis yang ditawarkan kepada pelanggan.

Perspektif lain dapat pula dipergunakan dalam melakukan analisa. Contohnya adalah Kuadran 3 dan Kuadran 4 yang memiliki fungsi yang kritikal bagi perusahaan, sehingga mau tidak mau perusahaan harus memilikinya dan mengimpelemtnasikannya secara efektif. Sementara Kuadran 1 dan Kuadran 2 merupakan suatu keadaan dimana kebutuhan akan aplikasi E-Business hanya merupakan suatu tambahan belaka bagi perusahaan (nice to have).

Dengan mengerti secara sungguh-sungguh peranan aplikasi EBusiness bagi perusahaan, maka nischaya manajemen dapat menentukan dan mengembangkan strategi yang tepat dan sesuai dengan visi dan misi usaha yang dicanangkan.

Sumber : E-Commerce : “Strategi Bisnis Di Dunia Maya”, Richardus Eko Indrajit, Aptikom

Posted on

Karakteristik Ekonomi Digital

Ekonomi digital didefinisikan oleh Amir Hartman sebagai “the virtual arena in which business actually is conducted, value is created and exchanged, transactions occur, and one-to-one relationship mature by using any internet initiative as medium of exchange (Hartman, 2000).
Keberadaannya ditandai dengan semakin maraknya berkembang bisnis atau transaksi perdagangan yang memanfaatkan internet sebagai medium komunikasi, kolaborasi, dan kooperasi antar perusahaan atau pun antar individu. Tengoklah bagaimana maraknya perusahaan-perusahaan baru maupun lama yang terjun ke dalam format bisnis elektronik ebusiness dan e-commerce.

Untuk dapat bertahan dan memenangkan persaingan dalam ekonomi digital, para pemain perlu memahami karakteristik dari konsep yang menjadi landasan karena sangat berbeda dengan ekonomi klasik yang selama ini dikenal. Tidak jarang bahwa perusahaan harus melakukan transformasi bisnis agar dapat secara optimal bermain di dalam arena ekonomi digital. Hal ini disebabkan karena untuk mengimplementasikannya, diperlukan model bisnis yang sama sekali
baru. Bagi perusahaan baru (start-up company), untuk terjun ke bisnis ini biasanya lebih mudah dibandingkan dengan perusahaan yang telah lama berdiri. Statistik menunjukkan bahwa sebagian besar perusahaan lama yang ingin memanfaatkan keberadaan ekonomi digital harus
mengadakan perubahan mendasar pada proses bisnisnya secara radikal (business process reengineering).

Don Tapscott menemukan dua belas karakteristik penting dari ekonomi digital yang harus diketahui dan dipahami oleh para praktisi manajamen, yaitu: Knowledge, Digitazion, Virtualization, Molecularization, Internetworking, Disintermediation, Convergence, Innoavation, Prosumption, Immediacy, Globlization, dan Discordance. Berikut adalah penjelasan singkat dari masing-masing aspek terkait (Tapscott, 1996).

1. Knowledge
Jika di dalam ekonomi klasik tanah, gedung, buruh, dan uang merupakan faktor-faktor produksi penting, maka di dalam ekonomi digital, knowledge atau pengetahuan merupakan jenis sumber daya terpenting yang harus dimiliki organisasi. Mengingat bahwa pengetahuan melekat pada
otak manusia, maka faktor intelegensia dari sumber daya manusia yang dimiliki perusahaan merupakan penentu sukses tidaknya organisasi tersebut dalam mencapai obyektifnya.

Pengetahuan kolektif inilah yang merupakan value dari perusahaan dalam proses penciptaan produk dan jasa. Di samping itu, kemjuan teknologi telah mampu menciptakan berbagai produk kecerdasan buatan (artificial intelligence) yang pada dasrnya mampu membantu manajemen dan staf perusahaan untuk meningkatkan kemampuan intelegensianya (knowledge leveraging).

Contoh produk perangkat lunak dan perangkat keras yang dapat menjadi sistem penunjang pengambilan keputusan adalah decision support system dan expert system. Konsep knowledge management akan menjadi kunci keberhasilan sebuah perusahaan di era ini.

2. Digitization
Digitazion merupakan suatu proses transformasi informasi dari berbagai bentuk menjadi format digit “0” dan “1” (bilangan berbasis dua). Walaupun konsep tersebut sekilas nampak sederhana, namun keberadaannya telah menghasilkan suatu terobosan dan perubahan besar di dalam dunia
transaksi bisnis. Lihatlah bagaimana bentuk gambar dua dimensi seperti lukisan dan foto telah dapat direpresentasikan ke dalam format kumpulan bit sehingga dapat dengan mudah disimpan dan dipertukarkan melalui media elektronik. Hal ini tentu saja telah dapat meningkatkan
efisiensi perusahaan karena mengurangi biaya-biaya terkait dengan proses pembuatan, penyimpanan, dan pertukaran media tersebut. Bahkan teknologi terakhir telah dapat melakukan konversi format analog video dan audio ke dalam format digital. Kemajuan teknologi telekomunikasi yang memungkinkan manusia untuk saling bertukar informasi secara cepat melalui email ke seluruh penjuru dunia semakin memudahkan proses pengiriman dan pertukaran seluruh jenis informasi yang dapat di-digitasi. Dengan kata lain, jika produk dan jasa yang ditawarkan dapat direpresentasikan dalam bentuk digital, maka perusahaan dapat dengan
mudah dan murah menawarkan produk dan jasanya ke seluruh dunia. Electronic publishing, virtual book store, internet banking, dan telemedicine merupakan contoh berbagai produk dan
jasa yang dapat ditawarkan di internet.


3. Virtualization
Berbeda dengan menjalankan bisnis di dunia nyata dimana membutuhkan aset-aset fisik semacam gedung dan alat-alat produksi, di dunia maya dikenal istilah virtualiasasi yang memungkinkan seseorang untuk memulai bisnisnya dengan perangkat sederhana dan dapat menjangkau seluruh calon pelanggan di dunia. Di dalam dunia maya, seorang pelanggan hanya berhadapan dengan sebuah situs internet sebagai sebuah perusahaan (business to consumer), demikian pula relasi antara berbagai perusahaan yang ingin saling bekerja sama (business to business). Dalam menjalin hubungan ini, proses yang terjadi lebih pada transaksi adalah pertukaran data dan informasi secara virtual, tanpa kehadiran fisik antara pihak-pihak atau
individu yang melakukan transaksi. Dengan kata lain, bisnis dapat dilakukan kapan saja dandimana saja selama 24 jam per-hari dan 7 hari seminggu secara on-line dan real time.

4. Molecularization
Organisasi yang akan bertahan dalam era ekonomi digital adalah yang berhasil menerapkan bentuk molekul. Bentuk molekul merupakan suatu sistem dimana organisasi dapat dengan mudah beradaptasi dengan setiap perubahan dinamis yang terjadi di lingkungan sekitar
perusahaan. Seperti diketahui, pada masa ini mayoritas organisasi dikelola dengan menggunakan konsep struktur hirarkis atau yang lebih maju lagi struktur matriks. Kedua konsep ini sangat rentan terhadap perubahan sehingga akan memperlambat gerak perusahaan dalam
menyesuaikan diri dengan perkembangan pasar. Satu hal yang harus diingat adalah bahwa terjun ke dunia maya berarti berhadapan head-to-head dengan perusahaan-perusahaan di seluruh dunia. Perilaku mereka setiap hari akan sangat mempengaruhi struktur pasar dan industri
terkait yang seringkali akan merubah berbagai kondisi. Hal ini tentu saja merupakan manifestasi dari persaingan bebas dan ketat yang terjadi disamping merupakan strategi untuk memenangkan rivalitas. Dengan kata lain, perubahan merupakan proses wajar yang harus dilakukan oleh perusahaan. Charles Darwin mengatakan bahwa bangsa yang akan bertahan bukanlah yang paling besar atau paling kuat, melainkan yang paling mampu beradaptasi dengan perubahan.
5. Internetworking
Tidak ada perusahaan yang dapat bekerja sendiri tanpa menjalin kerja sama dengan pihak-pihak lain, demikian salah satu prasyarat untuk dapat berhasil di dunia maya. Berdasarkan model bisnis yang dipilih, perusahaan terkait harus menentukan aktivitas inti-nya (core activity) dan menjalin kerja sama dengan institusi lain untuk membantu melaksanakan proses-proses penunjang (supporting activities). Contoh dari pihak-pihak yang umum dijadikan sebagai rekanan adalah vendor teknologi, content partners, merchants, pemasok (supplier), dan lain
sebagainya. Konsep bisnis yang ingin menguasai sumber daya sendiri dari hulu ke hilir tidak akan bertahan lama di dalam ekonomi digital.


6. Disintermediation
Ciri khas lain dari arena ekonomi digital adalah kecenderungan berkurangnya mediator (broker) sebagai perantara terjadinya transaksi antara pemasok dan pelanggan. Contohnya mediatormediator dalam aktivitas ekonomi adalah wholesalers, retailers, broadcasters, record companies, dan lain sebagainya. Perusahaan-perusahaan klasik yang menggantungkan diri sebagai mediator dengan sendirinya terpaksa harus gulung tikar dengan adanya bisnis internet. Pasar bebas
memungkinkan terjadinya transaksi antar individu tanpa harus melibatkan pihak-pihak lain.

7. Convergence
Kunci sukses perusahaan dalam bisnis internet terletak pada tingkat kemampuan dan kualitas perusahaan dalam mengkonvergensikan tiga sektor industri, yaitu: computing, communications, dan content. Komputer yang merupakan inti dari industri computing merupakan pusat syaraf
pengolahan data dan informasi yang dibutuhkan dalam melakukan transaksi usaha. Adapun produk industri communications yang paling relevan adalah infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi sebagai pipa penyaluran data dan informasi dari satu tempat ke tempat lainnya.
Persaingan sesungguhnya terletak pada industri content yang merupakan jenis pelayanan atau jasa yang ditawarkan sebuah perusahaan kepada pasar di dunia maya. Ketiga hal di atas merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki dan dikuasai pemakainnya untuk dapat berhasil
menjalankan bisnis secara sukses.


8. Innovation
Aktivitas di internet adalah bisnis 24 jam, bukan 8 jam seperti layaknya perusahaan-perusahaan di dunia nyata. Keunggulan kompetitif (competitive advantage) sangat sulit dipertahankan mengingat apa yang dilakukan seseorang atau perusahaan internet lain sangat mudah untuk ditiru. Oleh karena itulah inovasi secara cepat dan terus-menerus dibutuhkan agar sebuah perusahaan dapat bertahan. Manajemen perusahaan harus mampu menemukan cara agar para
pemain kunci di dalam organisasi (manajemen dan staf) dapat selalu berinovasi seperti layaknya perusahaan-perusahaan di Silicon Valley. Konsep learning organization patut untuk dipertimbangkan dan diimplementasikan di dalam perusahaan.

9. Prosumption
Di dalam ekonomi digital batasan antara konsumen dan produsen yang selama ini terlihat jelas menjadi kabur. Hampir semua konsumen teknologi informasi dapat dengan mudah menjadi produsen yang siap menawarkan produk dan jasanya kepada masyarakat dan komunitas bisnis. Contohnya adalah seseorang yang harus membayar 5 dolar US untuk mendapatkan akses ke dalam sebuah sistem mailing list. Kemudian yang bersangkutan membuat sebuah komunitas
mailing list dimana setiap anggotanya harus membayar 1 dolar US kepadanya. Dalam waktu singkat yang bersangkutan telah dapat memperoleh untung dari usaha kecil tersebut. Dalam konteks ini, individu yang bersangkutan dikategorikan sebagai prosumer.


10. Immediacy
Di dunia maya, pelanggan dihadapkan pada beragam perusahaan yang menawarkan produk atau jasa yang sama. Dalam memilih perusahaan, mereka hanya menggunakan tiga kriteria utama.
Secara prinsip mereka akan mengadakan transaksi dengan perusahaan yang menawarkan produk atau jasanya secara cheaper, better, dan faster dibandingkan dengan perusahaan sejenis. Mengingat bahwa switching cost di internet sangat mudah dan murah, maka pelanggan akan
terus menerus mencari perusahaan yang paling memberikan benefit tertinggi baginya. Melihat hal inilah maka perusahaan harus selalu peka terhadap berbagai kebutuhan pelanggan yang membutuhkan kepuasan pelayanan tertentu.

11. Globalization
Esensi dari globalisasi adalah runtuhnya batas-batas ruang dan waktu (time and space). Pengetahuan atau knowledge sebagai sumber daya utama, tidak mengenal batasan geografis sehingga keberadaan entitas negara menjadi kurang relevan di dalam menjalankan konteks bisnis di dunia maya. Seorang kapitalis murni akan cenderung untuk melakukan bisnisnya dari sebuah tempat yang murah dan nyaman, menjual produk dan jasanya kepada masyarakat yang kaya, dan hasil keuntungannya akan ditransfer dan disimpan di bank yang paling aman dan
memberikan bunga terbesar. Segmentasi market yang selama ini sering dilakukan berdasarkan batas-batas waktu dan ruang pun harus didefnisikan kembali mengingat bahwa seluruh masyarakat telah menjadi satu di dalam dunia maya, baik komunitas produsen maupun
konsumen.


12. Discordance
Ciri khas terakhir dalam ekonomi digital adalah terjadinya fenomena perubahan struktur sosial dan budaya sebagai dampak konsekuensi logis terjadinya perubahan sejumlah paradigma terkait dengan kehidupan sehari-hari. Semakin ringkasnya organisasi akan menyebabkan terjadinya pengangguran dimana-mana, mata pencaharian para mediator (brokers) menjadi hilang, para pekerja menjadi workoholic karena persaingan yang sangat ketat, pengaruh budaya barat sulit
untuk dicegah karena dapat diakses bebas oleh siapa saja melalui internet, dan lain sebagainya merupakan contoh fenomena yang terjadi di era ekonomi digital. Ketidaksiapan sebuah organisasi dalam menghadapi segala kemungkinan dampak negatif yang timbul akan berakibat buruk (bumerang) bagi kelangsungan hidup perusahaan.

Sumber : E-Commerce : “Strategi Bisnis Di Dunia Maya”, Richardus Eko Indrajit, Aptikom

Posted on

Arsitektur Bisnis dan Teknologi dalam Pengembangan Electronic Commerce

Dalam berbagai teori manajemen dikatakan bahwa skenario pengembangan teknologi informasi harus sejalan dengan strategi bisnis perusahaan. Sejalan dalam arti kata bahwa dalam tataran strategis dan aktivitas operasional, pengembangan teknologi informasi semacam E-Commerce harus berada dalam kerangka arsitektur bisnis perusahaan. Eberhardt Rechtin mendefinisikan arsitektur bisnis perusahaan sebagai penggabungan antara tiga komponen besar, yaitu: organisasi, proses, dan teknologi.

Untuk sebuah perusahaan berskala kecil, arsitektur bisnis yang ada sangatlah sederhana, sehingga tidak perlu dilakukan usaha khusus untuk mendefinisikan dan memahaminya. Hal ini sangat berbeda dengan perusahaan-perusahaan berskala menengah dan besar, dimana hubungan antara satu komponen dengan komponen lainnya telah sedemikian rumit, sehingga sangat sulit untuk melakukan pemahaman terhadap arsitektur bisnis perusahaan tanpa adanya pegangan yang jelas dan akurat. Kompleksitas arsitektur bisnis semakin bertambah tinggi sejalan dengan cepatnya perubahan yang terjadi di dalam perusahaan sebagai jawaban atas dinamika lingkungan bisnis yang sedemikian cepat berubah. Cepatnya perkembangan bisnis dan perubahan yang terjadi memaksa perusahaan untuk menyusun strategi implementasi E-Commerce-nya agar tidak terjadi suatu pengembangan sistem yang
“tambal sulam” dan membahayakan perusahaan. Suatu pendekatan baru dalam memahami konsep pengembangan E-Commerce yang sejalan dengan kebutuhan bisnis yang selalu berubah secara cepat dari waktu ke waktu harus dikuasi oleh manajemen perusahaan (Fingar, 2000). Gambar berikut memperlihatkan bagaimana konsep pengembangan E-Commerce yang sejalan dengan kerangka strategis perusahaan.

E-Commerce Business Strategy
Memahami keberadaan E-Commerce dalam kerangka bisnis perusahaan bukanlah merupakan suatu hal yang mudah. Vince Barabba dari General Motors mengatakan bahwa diperlukan suatu kemampuan berfikir secara lateral (outside the box) untuk dapat memahami karakteristik dan
peluang-peluang bisnis yang ditawarkan oleh E-Commerce.
Kemampuan untuk melakukan “learning” harus dimiliki oleh segenap stakeholders perusahaan, lebih dari hanya sekedar “knowing” mengenai perkembangan teknologi informasi. Berawal dari analisa klasik SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats) yang dipadu dengan
berfikir secara lateral, pemilik dan pengelola bisnis harus dapat menemukan berbagai peluang bisnis yang “mungkin” dimanfaatkan dengan kehadiran teknologi internet dan E-Commerce.
Berbagai pertanyaan-pertanyaan mendasar kerap diajukan kembali dalam kerangka ini, seperti:
ï‚§ Apakah mungkin perusahaan memanfaatkan E-Commerce untuk meningkatkan profitabilitas perusahaan secara signifikan, baik melalui peningkatan pendapatan atau penurunan total biaya ?
ï‚§ Seberapa besar kesempatan perusahaan untuk memanfaatkan teknologi E-Commerce untuk meningkatkan daya saing usaha ?
ï‚§ Apakah dengan tidak memanfaatkan E-Commerce perusahaan akan terancam secara serius keberadaannya ?
 Berapa besar nilai segmen pasar baru yang dapat diraih seandainya perusahaanmemutuskan untuk “go E-Commerce” ?
ï‚§ dan lain sebagainya.
Prinsip pokok yang harus dijalani di dalam fase ini adalah suatu pemahaman mengenai apa yang dapat dan mungkin dilakukan E-Commerce untuk peningkatan kinerja bisnis perusahaan di
berbagai aspek.

Inter-Enterprise Business Processes
Setelah memahami segala kemungkinan yang ditawarkan E-Commerce untuk pertumbuhan perusahaan, langkah selanjutnya adalah memahami bagaimana kemungkinan-kemungkinan tersebut secara operasional dapat diwujudkan. Kunci dari prosedur pelaksanaan strategi adalah terletak pada proses bisnis (business processes). Dalam kerangka sistem E-Commerce jelas terlihat bahwa adanya aktivitas integrasi antara proses internal perusahaan dengan prosesproses organisasi lain yang menjadi mitra usahanya, seperti: pemasok, distributor, rekanan, vendor, maupun pelanggan. Pertanyaan-pertanyaan sentral yang harus dapat dijawab akan berkisar pada isu-isu proses, organisasi, dan model data:
ï‚§ Bagaimana menciptakan proses bisnis yang lebih cepat, lebih baik, dan lebih murah bagi pelanggan ?
ï‚§ Bagaimana menggabungkan antara physical value chain dengan virtual value chain ?
ï‚§ Bagaimana memilih model bisnis yang tepat dan sesuai dengan strategi bisnis perusahaan ?
ï‚§ Bagaimana menggabungkan proses bisnis internal dengan proses bisnis eksternal yang dimiliki rekanan semacam pemasok atau distributor ?
ï‚§ dan lain sebagainya.
Prinsip pokok yang harus dijalani dalam fase ini adalah mensimulasikan secara konsep, bagaimana E-Commerce dapat memberikan kontribusi terhadap penciptaan produk atau jasa
yang dapat meningkatkan nilai dan kepuasan konsumen. Seringkali di dalam menentukan proses bisnis atau model bisnis yang diinginkan, perusahaan tidak harus selalu mulai dari nol. Pada kenyataannya telah banyak contoh-contoh proses bisnis handal (best practice) maupun model bisnis yang telah berhasil diterapkan oleh perusahaan-perusahaan lain yang dapat dengan mudah diadopsi. Contohnya adalah Ebay.com untuk model bisnis industri pelelangan, Amazon.com untuk industri distribusi buku dan media, Brainbench.com untuk industri sertifikasi training, dan lain sebagainya.

Component-Based Applications
Setelah menentukan jenis proses bisnis yang ingin diterapkan dalam perusahaan, langkah selanjutnya adalah menentukan komponen-komponen objek bisnis (modul aplikasi) yang diperlukan untuk membangun model bisnis tersebut. Contoh objek bisnis yang kerap diperlukan untuk mengimplementasikan sebuah sistem E-Commerce antara lain:
ï‚§ Modul aplikasi untuk menerima pesanan (order) dari pelanggan
ï‚§ Modul aplikasi untuk melakukan otorisasi kartu kredit sebagai alat pembayaran produk atau jasa yang ditawarkan;
ï‚§ Modul aplikasi untuk mencari data atau informasi yang ada di dalam katalog produkproduk yang ditawarkan perusahaan;
ï‚§ Modul aplikasi untuk menghubungkan satu sistem aplikasi dengan sistem-sistem lainnya;
ï‚§ Modul aplikasi untuk melakukan tanya jawab secara interaktif dengan konsumen;
ï‚§ Modul aplikasi untuk mencatat keluhan pelanggan;
ï‚§ dan lain sebagainya.
Objek-objek bisnis ini secara teknis telah tersedia di pasaran aplikasi, sejalan dengan perkembangan paradigma pemrograman berbasis objek. Perusahaan hanya tinggal melakukan “tailor-made” atau penggabungan terhadap komponen-komponen independen ini sesuai dengan cetak biru proses bisnis yang diinginkan. Paradigma menggunakan komponen objek ini merupakan jawaban terhadap kebutuhan perusahaan untuk selalu dapat beradaptasi dengan perubahan yang ada, karena sifat objek yang sangat fleksibel dan dapat disusun sesuai dengan keinginan/kebutuhan spesifik perusahaan.

Technology Infrastructure
Pada akhirnya pendekatan pengembangan sistem E-Commerce yang adaptif dengan perubahan, yaitu dengan menggunakan paradigma komponen bisnis objek, hanya dapat dilakukan jika perusahaan memiliki infrastruktur teknologi informasi yang sesuai dengan sifat-sifat pengembangan komponen-komponen objek bisnis tersebut. Dengan kata lain, perusahaan harus memiliki desain cetak biru pengembangan teknologi informasi (data, proses, dan teknologi) yang menekankan pada implementasi sistem berbasis objek. Perusahaan-perusahaan yang masih menggunakan metoda pengembangan sistem dengan teori-teori lama harus mulai memikirkan untuk melakukan migrasi ke sistem yang baru. Aset-aset teknologi kuno, baik perangkat keras maupun perangkat lunak, harus mulai diganti dengan tipe teknologi baru untuk menjawab tantangan bisnis yang ada.

Sumber : E-Commerce : “Strategi Bisnis Di Dunia Maya”, Richardus Eko Indrajit, Aptikom

Posted on

Transisi dan Siklus Pengembangan Electronic Commerce di Perusahaan

Membangun dan mengimplementasikan sebuah sistem E-Commerce bukanlah merupakan sebuah proses atau program “sekali jadi”, namun merupakan suatu sistem yang perlahan-lahan berkembang terus-menerus sejalan dengan perkembangan perusahaan. Tidak sedikit perusahaan-perusahaan besar yang memilih jalan evolusi dalam memperkenalkan dan mengembangkan E-Commerce di perusahaannya. Alasan utama yang melatarbelakangi pemikiran ini adalah sebagai berikut:
Mengimplementasikan sebuah sistem E-Commerce tidak semudah atau sekedar mempergunakan sebuah perangkat aplikasi baru, namun lebih kepada pengenalan sebuah prosedur kerja baru (transformasi bisnis). Tentu saja perubahan yang ada akan mendatangkan berbagai
permasalahan, terutama yang berhubungan dengan budaya kerja dan relasi dengan rekanan maupun pelanggan (Fingar, 2000):
ï‚§ Sistem E-Commerce melibatkan arsitektur perangkat lunak dan perangkat keras yang akan terus berkembang sejalan dengan kemajuan teknologi, sehingga strategi pengembangan dan penerapannya-pun akan berjalan seiring dengan siklus hidup perusahaan; dan
ï‚§ Mengembangkan sistem E-Commerce secara perlahan dan bertahap secara tidak langsung menurunkan tingginya resiko kegagalan implementasi yang dihadapi perusahaan.
Gambar berikut memperlihatkan strategi pengembangan E-Commerce secara evolusioner dalam bentuk diagram transisi dari satu fase ke fase berikutnya.

Hal pertama yang baik untuk dilakukan adalah menyamakan visi E-Commerce diantara seluruh manajemen perusahaan melalui berbagai pendekatan formal maupun informal.
Jajaran Direksi dan Manajemen Senior harus memiliki visi yang jelas dan tegas, dan dipahami oleh seluruh perangkat perusahaan untuk menghasilkan kesamaan gerak di dalam perkembangan implementasi E-Commerce. Visi yang jelas juga diharapkan akan mengurangi
berbagai hambatan-hambatan atau resistansi yang mungkin timbul karena tidak didukungnya program tersebut oleh jajaran manajemen atau staf perusahaan yang ada.

Sumber : E-Commerce : “Strategi Bisnis Di Dunia Maya”, Richardus Eko Indrajit, Aptikom

Posted on

Evolusi Electronic Business di Perusahaan

Secara alami, perusahaan konvensional yang berniat untuk mengimplementasikan E-Business biasanya akan melalui tahapan evolusi. Perubahan secara perlahan-lahan merupakan suatu
kewajaran karena selain manajemen tidak mau mengambil resiko besar, biasanya yang bersangkutan masih ingin melihat seberapa “visible” medium internet dimanfaatkan untuk meningkatkan kinerja bisnisnya (wait-and-see). Mayoritas dari perusahaan-perusahaan ini
biasanya akan menjalani 6 (enam) tahapan pengembangan E-Business (Hartman, 2000).

Brochurware
Pada tahap pertama, perusahaan biasanya menggunakan internet sebagai medium untuk berpromosi (marketing). Istilah “brochurware” sendiri memiliki makna dipergunakannya internet sebagai sarana untuk mengembangkan brosur elektronik. Jenis-jenis informasi standar yang biasa diletakkan dalam situs perusahaan adalah: profil perusahaan, informasi produk dan pelayanan yang ditawarkan, nomor telepon yang dapat dihubungi, dan lain sebagainya. Pada dasarnya yang terjadi pada tahap ini adalah dipergunakannya internet sebagai medium
komunikasi satu arah, dimana para calon pelanggan dapat melakukan pencarian (browsing) informasi sehubungan dengan seluk beluk perusahaan melalui fasilitas-fasilitas pada situs terkait.

Customer Interactivity
Sesuai dengan namanya, pada tahapan berikut perusahaan mulai mengembangkan kemampuan aplikasi situsnya untuk memungkinkan terjadinya komunikasi dua arah (dialog) antara perusahaan dengan para konsumennya (atau calon pelanggan). Contohnya adalah fasilitas
interactive chatting yang memungkinkan para pelanggan untuk secara interaktif berdiskusi dan melakukan tanya jawab dengan bagian customer service perusahaan secara real time, atau yang lebih canggih lagi melalui fasilitas multimedia semacam tele conference yang memungkinkan
seorang pelanggan untuk bertatap muka dengan manajemen perusahaan melalui kamera. Prinsip yang dikembangkan di sini adalah untuk menciptakan relasi atau hubungan interaktif dengan konsumen sebagai salah satu faktor yang menentukan aspek kepuasan dan loyalitas pelanggan.

Yang perlu dicatat adalah, secara internal perusahaan, terkadang dibangun pula suatu mekanisme yang memudahkan para karyawan (manajemen dan staf) untuk melakukan komunikasi efektif (interaktif) melalui penggunaan teknologi informasi. Contohnya adalah
penerapan konsep intranet dan groupware sebagai sarana untuk komunikasi, kooperasi, dan kolaborasi.

Transaction Enabler
Tahap selanjutnya adalah pengembangan suatu aplikasi yang memungkinkan terjadinya transaksi bisnis secara elektronik (E-Commerce). Paling tidak terdapat dua jenis transaksi bisnis yang umumnya terjadi. Jenis pertama adalah mekanisme pembelian produk atau jasa oleh konsumen melalui internet. Aktivitas perdagangan seperti pemilihan barang melalui katalog, penawaran harga, sampai dengan pembayaran semuanya dilakukan melalui fasilitas yang
tersedia di situs perusahaan. Jenis transaksi kedua adalah yang terjadi antara perusahaan dengan rekanan bisnisnya. Contoh klasiknya adalah pembelian barang-barang yang dibutuhkan perusahaan melalui jaringan ekstranet, yaitu infrastruktur teknologi informasi yang menghubungkan perusahaan dengan pemasok barangnya (supplier).

One-to-One Relationship
Pengembangan infrastruktur E-Business selanjutnya adalah untuk menuju kepada apa yang diistilahkan sebagai “One-to-One Relationship”, yaitu mekanisme yang memungkinkan terjadinya transaksi perdagangan antar individu. Secara prinsip yang terjadi di sini adalah mekanisme
penjualan produk atau pelayanan berbasis individu, yang memungkinkan masing-masing konsumen untuk berhubungan secara eksklusif dengan individu lain secara bebas. Contoh yang paling jelas adalah dalam bisnis perlelangan atau penjualan mata uang (money changer).
Dampak dari mekanisme perdagangan seperti ini adalah imungkinkannya seorang konsumen untuk memperoleh harga spesifik yang berbeda dengan konsumen-konsumen lainnya.

Real Time Organizations
Pada tahap kelima ini yang terjadi adalah bisnis non-stop 24 jam dimana seluruh transaksi telah diambil alis secara otomatis oleh komputer. Secara real time calon penjual dan pembeli melalui situs perusahaan dapat bertemu dan melakukan transaksi saat itu juga. Aspek real time yang
dapat dirasakan manfaatnya adalah dapat dikonsumsikannya produk atau pelayanan pada saat itu juga, yaitu ketika pembayaran melalui kartu kredit misalnya telah terotorisasi dari bank yang bersangkutan. Aplikasi yang kompleks merupakan salah satu kunci kerberhasilan sebuah
perusahaan yang telah mencapai tahapan pengembangan E-Business semacam ini.

Communities of Interests
Tahap terakhir dalam evolusi E-Business adalah kemampuan perusahaan dalam membentuk sebuah komunitas di dunia maya, yang terdiri dari para konsumen dan rekanan bisnis yang saling bekerja sama untuk menciptakan value di internet. Hubungan antara perusahaan dengan konsumen, content partners, advertisers, dan komunitas lainnya akan menciptakan berbagai model bisnis baru yang selanjutnya akan menjadi sebuah peluang usaha yang layak untuk dikembangkan.

Kecepatan evolusi perusahaan dalam memanfaatkan internet untuk mengembangkan E-Business sangat ditentukan oleh kesiapan manajemen dan ketersediaan sumber daya yang memadai.
Namun evolusi tersebut bukan pula berarti bahwa perusahaan yang bersangkutan harus secara sekuensial mengikuti tahap demi tahap yang ada, namun bagi mereka yang ingin menerapkan EBusiness dengan “aman” dan “terkendali”, alur pengembangan aplikasi secara bertahap
merupakan pilihan yang baik.

Sumber : E-Commerce : “Strategi Bisnis Di Dunia Maya”, Richardus Eko Indrajit, Aptikom